MAKALAH
MAKNA KATA
DALAM BAHASA INDONESIA
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen pengampu: Fuat Arif, M. Ed.
Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen pengampu: Fuat Arif, M. Ed.
Disusun
oleh:
Ulufun
Na’imah (12810017)
Aris Munandar (12810030)
Moch. Emmik Kanigara (12810035)
Edy M. Sahal Makhfudz (12810009)
Aris Munandar (12810030)
Moch. Emmik Kanigara (12810035)
Edy M. Sahal Makhfudz (12810009)
EKONOMI
SYARIAH A.
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelajaran Bahasa Indonesia sangat
penting dikuasai dalam seluruh tingkatan pendidikan termasuk di perguruan
tinggi. Tujuan dari adanya pelajaran ini adalah agar para rakyat khususnya para
pelajar dapat terampil berbahasa Indonesia yang meliputi terampil menyimak,
berbahasa, membaca dan menulis. Agar dapat mencapapi tujuan itu, kosa kata yang cukup sangatlah dibutuhkan.
Selain mempunyai banyak kosakata, makna kata – kata tersebut juga harus
dikuasai untuk lebih memperkaya kosa kata yang dimiliki. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan para pembaca mengenai makna kata.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian makna kata?
2.
Apa saja relasi makna kata?
3.
Apa saja perubahan makna kata?
4.
Apa saja jenis makna kata?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian makna kata.
2.
Mengetahui relasi makna kata.
3.
Mengetahui perubahan – perubahan makna kata.
4.
Mengetahui jenis – jenis makna kata.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Makna Kata
Makna adalah denotasi.
Kadang – kadang “Makna” itu selaras dengan
“Arti” dan kadak tidak selaras. Apabila makna sesuatu itu sama dengan arti sesuatu itu, maka makna tersebut disebut Makna Laras
(Explicit Meaning). Apabila
maknanya tidak selaras dengan “Arti”, maka sesuatu itu disebut memiliki
Makna Kandungan (Implicit Meaning) atau Makna Lazim (Necessary Meaning).
Sebagai contoh kata “Sapi”, ia memiliki arti dan makna. “Sapi” sudah memiliki arti
sebelum kata tersebut dimasukan ke dalam kalimat, tapi ia belum memiliki makna, karena makna hanya akan
terbentuk apabila kata itu sudah
dimasukan kedalam kalimat.
Contoh Makna Laras:
Gara memukul sapi.
Kalimat ini memiliki makna yang sama dengan artinya, yaitu sapi.
Pengertian yang menyeluruh
tentang sapi tersebut itulah yang disebut dengan Makna Laras
(Explicit Meaning). Ketika Gara membeli
sapi, tentu yang dibeli adalah keseluruhan tubuh
sapi. Oleh karena itu, makna “Sapi” dalam kalimat tersebut
adalah sama dengan arti “Sapi”, sehingga disebut memiliki Makna Laras.
Contoh Makna Kandungan:
Gara memukul sapi.
Yang dipukul
oleh Gara adalah sebagian
tubuh sapi
itu, oleh
karena itu “Sapi” dalam
kalimat tersebut tidak selaras dengan artinya, melainkan hanya kandungan arti tersebut. Oleh karena itu “Sapi” dalam kalimat tersebut memiliki Makna
Kandungan.
Contoh Makna Kata Lazim:
Gara Menarik sapi.
Kata “Sapi” dalam kalimat tersebut adalah memiliki Makna Lazim, karena ketika Gara menarik sapi, sebenarnya yang dipegang adalah
talinya. Dia menarik tali itu secara tidak langsung menarik tubuh
sapi. Kendatipun yang gara pegang dan
dia tarik secara langsung adalah tali kedali sapi dan bukan
sapinya secara langsung, tetapi sudah lazim dikatakan bahwa hal itu disebut menarik sapi. Itulah mengapa disebut Makna Lazim.
B. Relasi Makna Kata
Di dalam Bahasa Indonesia, banyak
ditemukan suatu kata yang memiliki hubungan atau relasi semantik dengan kata
lain, seperti kesamaan makna, lawan kata, kegandaan kata, ketercakupan makna,
kelainan makna, dan sebagainya. Di bawah ini akan dijelaskan macam-macam relasi
makna tersebut.
1.
Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno , yaitu onoma yang berarti “Nama”, dan syn yang berarti “Dengan”. Maka secara harfiah
kata sinonim berarti “Nama lain untuk benda atau hal yang sama” (Chaer,
1990:85). Sinonim atau bisa disebut kegandan makna dapat diartikan sebagai dua
kata atau lebih yang memiliki makna yang sama atau hampir sama. Dikatakan
hampir sama karena meskipun dua kata tersebut sama, kata tersebut tidak dapat
atau kurag tepat bila menggantikan kata yang lain dalam sebuah kalimat.
Contohnya seperti di bawah ini :
Tikus itu mati diterkam kucing.
Tikus itu meninggal diterkam kucing.
Dalam dua kalimat di atas, kita
dapat menemukan dua kata yang bersinonim, yaitu mati dan meninggal. Namun kata
“Meninggal” pada kalimat kedua tidak dapat menggantikan kata “Mati” pada
kalimat pertama. Hal ini karena kata “Mati” dapat digunakan pada semua makhluk
hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, sedangkan kata “Meninggal” hanya
digunakan pada manusia.
2.
Antonim
Kata antonimi berasal dari
kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “Nama”, dan anti yang
berarti “Melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda
lain pula’(Chaer, 1990:85). Kata antonim atau sering disebut lawan kata dapat
diartikan sebagai dua kata yang memiliki makna yang berlawanan atau
bertentangan. Misalnya, hidup-mati,
diam-gerak dan sebagainya.
3.
Homonim,
homofon, homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang
berarti “Nama” dan homo yang artinya “Sama”. Secara harfiah homonimi
dapat diartikan sebagai “Nama sama untuk benda atau hal lain” (Chaer, 1990:85).
Homonim adalah dua kata atau lebih yang memiliki ejaan dan lafal yang sama namun memiliki makna yang
berbeda. Misalnya, kata “Bisa” dapat diartikan dua makna, yakni “Bisa” yang
berarti “Dapat” dan “Bisa” yang berarti “Racun”.
Homofon (homo berarti sama,
fon berarti bunyi ) adalah dua kata atau lebih yang memiliki lafal yang
sama walaupun ejaan dan maknanya berbeda. Misalnya, kata “Bang” dan “Bank”.
Homograf (homo berarti sama, grafi berarti tulisan) adalah dua
kata atau lebih yang memiliki ejaan yang sama namun memiliki lafal dan makna
yang berbeda. Misalnya, “Tahu” (baca “Tahu”)
bermakna salah satu produk makanan yang berasal dari kedelai, sedangkan
kata “Tahu” (baca “Tau”) bermakna mengetahui.
4.
Hiponim
dan hipernim
Kata hiponimi berasal dari bahasa
Yunani kuno , yaitu onoma berarti
“Nama” dan hypo berarti “Di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “Nama yang
termasuk di bawah nama lain” (Chaer, 1990:85). Hipomimi dan hipermimi
berhubungan satu sama lain, hipomimi merujuk pada kata yang lebih khusus yang
merupakan subordinat dari hipermimi. Misalnya, kata “Tongkol” dan “Ikan”, kata
“Tongkol” merupakan hiponim dari kata “Ikan” sedangkan kata “Ikan” merupakan
hipernim dari kata “Tongkol”.
5.
Polisemi
Polisemi adalah satuan bahasa (bisa
kata atau frase) yang memiliki makna lebih
dari satu. Misalnya pada kalimat di bawah ini :
Kepalaku sakit sejak
kemarin.
Kepala
sekolah menemui para murid di kelas
Kata “Kepala” yang pertama bermakna bagian tubuh yang berada
di atas leher sedangkan kata “Kepala” yang kedua bermakna pemimpin.
C. Perubahan Makna Kata
Pengertian
Dalam perkembangan penggunaannya, kata sering
mengalami perubahan makna. Perubahan tersebut terjadi karena pergeseran
konotasi, rentang masa penggunaan, jarak, dan lain-lain. Namun yang jelas,
perubahan-perubahan tersebut ada bermacam-macam yaitu: menyempit, meluas,
amelioratif, peyoratif, dan asosiasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
penjelasan dibawah ini :
Macam-macam
Perubahan Makna
a. Menyempit/spesialisasi
Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat ini hanya terbatas untuk satu keadaan saja.
Contoh :
Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma arti luas atau umum, sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna “Lulusan perguruan tinggi”).
b. Meluas/generalisasi
Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit.
Contoh :
Petani dulu dipai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele merupakan bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.
c. Amelioratif
Pada awalnya, kata ini memiliki makna kurang baik, kurang positif, tidak menguntungkan, akan tetapi, pada akhirnya mengandung pengertian makna yang baik, positif, dan menguntungkan.
Contoh :
Wanita, pramunikmat, dan warakawuri merupakan kata-kata yang dipakai untuk lebih menghaluskan, menyopankan pengertian yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
d. Peyoratif
Makna kata sekarang mengalami penurunan nilai rasa kata daripada makna kata pada awal pemakaiannya.
Contoh :
Kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan terasa memiliki konotasi menurun atau negatif.
e. Asosiasi
Yang tegolong kedalam perubahan makna ini adalah kata-kata dengan makna-makna yang muncul karena persamaan sifat. Sering kita mendengar kalimat “hati-hati dengan tukang catut itu.”
Tukang catut dalam kalimat diatas tergolong kata-kata dengan makna asosiatif. Begitu pula dengan kata kacamata dalam : menurut kacamata saya, perbuatan anda tidak benar
f. Sinestesia
Perubahan makna terjadi karena pertukaran tanggapan antara dua indera, misalnya dari indera pengecap ke indera penglihatan.
Contoh:
Gadis itu berwajah manis. Kata manis mengandung makna enak, biasanya dirasakan oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus, dirasakan oleh indera penglihatan. Demikian juga kata panas, kasar, sejuk, dan sebagainya.
a. Menyempit/spesialisasi
Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat ini hanya terbatas untuk satu keadaan saja.
Contoh :
Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma arti luas atau umum, sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna “Lulusan perguruan tinggi”).
b. Meluas/generalisasi
Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit.
Contoh :
Petani dulu dipai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele merupakan bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.
c. Amelioratif
Pada awalnya, kata ini memiliki makna kurang baik, kurang positif, tidak menguntungkan, akan tetapi, pada akhirnya mengandung pengertian makna yang baik, positif, dan menguntungkan.
Contoh :
Wanita, pramunikmat, dan warakawuri merupakan kata-kata yang dipakai untuk lebih menghaluskan, menyopankan pengertian yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
d. Peyoratif
Makna kata sekarang mengalami penurunan nilai rasa kata daripada makna kata pada awal pemakaiannya.
Contoh :
Kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan terasa memiliki konotasi menurun atau negatif.
e. Asosiasi
Yang tegolong kedalam perubahan makna ini adalah kata-kata dengan makna-makna yang muncul karena persamaan sifat. Sering kita mendengar kalimat “hati-hati dengan tukang catut itu.”
Tukang catut dalam kalimat diatas tergolong kata-kata dengan makna asosiatif. Begitu pula dengan kata kacamata dalam : menurut kacamata saya, perbuatan anda tidak benar
f. Sinestesia
Perubahan makna terjadi karena pertukaran tanggapan antara dua indera, misalnya dari indera pengecap ke indera penglihatan.
Contoh:
Gadis itu berwajah manis. Kata manis mengandung makna enak, biasanya dirasakan oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus, dirasakan oleh indera penglihatan. Demikian juga kata panas, kasar, sejuk, dan sebagainya.
D. Jenis Makna Kata
Makna di dalam
sastra Bahasa Indonesia ditentukan dalam beberapa kriteria atau jenis dan juga
sudut pandang. Jenis makna dalam Bahasa Indonesia sangat banyak diantaranya:
Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna
gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem
dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan
ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna
denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna
kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan
kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna
asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
1.
Makna Lesikal dan Makna Gramatikal
Leksikal
merupakan bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu
satuan bentuk bahasa yang bermakna. Dengan kata lain makna lesikal adalah makna
unsur-unsur bahasa (leksem) sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan
lain-lain. Seperti kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang
pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak
jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen
kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Biasanya makna
leksikal dipertentangkan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal berkenaan
dengan makna leksem, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai
akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan
proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna “Dapat”, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas
melahirkan makna gramatikal “Tidak sengaja”.
2.
Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan makna
referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut “Meja”. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif
atau konseptual adalah makna kata yang didasarkan atas penunjukkan yang
langsung (lugas) pada suatu hal atau obyek di luar bahasa. Makna langsung atau
makna lugas bersifat obyektif, karena langsung menunjuk obyeknya. Jadi, makna
denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu,
makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya.
Seperti
dalam kata perempuan dan wanita
kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu “Manusia dewasa bukan
laki-laki”.
Makna konotatif
merupakan lawan dari makna denotatif. Jika makna denotatif mencakup arti kata
yang sebenarnya, maka makna konotatif sebaliknya, yang juga disebut sebagai
makna kiasan. Lebih lanjut, makna konotasi dapat dijabarkan sebagai makna yang
diberikan pada kata atau kelompok kata sebagai perbandingan agar apa yang
dimaksudkan menjadi jelas dan menarik. Seperti dalam kalimat “Rumah itu dilalap
si jago merah”. Kata “Si jago merah” dalam kalimat tersebut
bukanlah arti yang sebenarnya, melainkan kata kiasan yang bermakna “Kebakaran”.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “Cerewet”, tetapi sekarang
konotasinya positif.
4.
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki
makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata
itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda
dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas,
yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena
itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya
perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau
kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari
contoh berikut
(1) Tangannya
luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya
luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan
pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam
bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Tangan
bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan
adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
5.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Yang dimaksud dengan makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual
sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna
referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu
dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
6.
Makna Idiomitikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang
maknanya tidak dapat ”Diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara
leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting
tulang dengan makna “Bekerja keras”, meja hijau dengan
makna “Pengadilan”. Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih
dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”Asosiasi”
antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti
anjing dengan kucing yang bermakna “Dikatakan ihwal dua orang yang
tidak pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya
anjing dan kucing jika bersama memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
7.
Makna Kias
Dalam kehidupan
sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau
kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti “Bulan”, raja siang
dalam arti “Matahari”.
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam Bahasa Indonesia, makna kata sangat penting
dipelajari. Pengetahuan tentang makna kata mempengaruhi pemahaman terhadap
suatu kalimat. Dalam makna kata, dipelajari pengertian makna kata,
relasi makna kata, jenis makna kata dan perubahan makna kata. Ada beberapa kata
yang memiliki makna yang berhubungan atau memiliki relasi, seperti
sinonim, antonim, dan lain sebagainya. Ada pula satu kata yang makna dulunya
berbeda dari makna sekarang, seperti spesialisasi, ameliorasi dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
-----------------------. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta :
Rineka Cipta.
Rineka Cipta.
Chaer, Drs. Abdul. 1990. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.
Cipta.
(Eneng Herniti, M. Hum dkk). 2005. Bahasa Indonesia. Yogyakarta :
Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Keraf, Dr. Gorys. 1991. Tata
Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.
Flores : Nusa Indah.
Flores : Nusa Indah.
Parera, J. D. 2004. Teori
Semantik Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung :
Angkasa.
Angkasa.
Tim Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas
Muhammadiyah
Malang. 2010. Bahasa Indonesia untuk Karangan Ilmiah. Malang : UMM
Press.
Malang. 2010. Bahasa Indonesia untuk Karangan Ilmiah. Malang : UMM
Press.
Widyamartaya. 1995. Seni
Menggayakan Kalimat. Yogyakarta : Kanisius
Terima kasih atas uraiannya yang cukup detil mengenai makna...
BalasHapusGamis Muslim
Sprei Anak Lucu